Jumat, 08 November 2013

Teori Belajar Behavioristik

Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang meyakini bahwa untuk mengkajian perilaku individu harus dilakukan terhadap setiap aktivitas individu yang dapat diamati, bukan pada peristiwa hipotesis yang terjadi dalam diri individu. Kelahiran behaviorisme sebagai aliran psikologi formal diawali oleh J.B Watson pada tahun 1913 yang menganggap psikologi sebagai bagian dari ilmu kealaman yang bersifat eksperimental dan objektif. Oleh karena itu psikologi harus menggunakan metode empiris, seperti : observation, conditioning, testing, dan verbal reports.

Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000).  Konsep stimulus dan respon inilah yang menjadi teori utama dari J.B Watson. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini, yang terpenting dalam belajar adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah segala sesuatu objek yang berasal dari lingkungan. Sedangkan respon adalah segala aktivitas sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi.


Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidaklah penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu apa yang diberikan (stimulus) dan apa yang diterima (respon) harus dapat diamati dan diukur, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
J.B Watson tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku manusia. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting. Pemikiran J.B Watson inilah yang menjadi dasar bagi para penganut behaviorisme berikutnya.

Macam – macam teori belajar menurut aliran behavioristik
1.      Teori Koneksionisme oleh Edward Thorndike
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Dalam percobaannya apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.


Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Dari eksperimennya, Thorndike mengemukakan hukum-hukum belajar, diantaranya :
·         Law of Readiness (Hukum Kesiapan)
Semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
·         Law of exercise (Hukum Latihan)
Semakin sering tingkah laku diulang, dilatih atau digunakan, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
·         Law of Effect (Hukum Akibat)
Hubungan stimulus cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.

Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan kucingdengan problem puzzle box-nya.

2.      Teori Classic Conditioning oleh Ivan Pavlov
Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan kalasi) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaanya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.

Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.

Dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

3.      Teori Operant Conditioning oleh B.F Skinner
B.F Skinner sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung, meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghulang sesuai dengan keinginan. Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.

Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Artinya seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkunyan relatif besar. 

Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Ciri kuat yang mendasari teori behavioristik yaitu :
·         Mementingkan pengaruh lingkungan.
·         Mementingkan bagian-bagian.
·         Mementingkan peranan reaksi.
·         Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon.
·         Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.
·         Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan.
·         Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan pisitif dan yang tidak diinginkan mendapat penguatan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari pada perilaku yang tampak.

Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Teori ini tidak dapat diterapkan pada setiap pelajaran, sehingga butuh kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar