Behaviorisme
merupakan salah satu aliran psikologi yang meyakini bahwa untuk mengkajian
perilaku individu harus dilakukan terhadap setiap aktivitas individu yang dapat
diamati, bukan pada peristiwa hipotesis yang terjadi dalam diri individu.
Kelahiran behaviorisme sebagai aliran psikologi formal diawali oleh J.B Watson
pada tahun 1913 yang menganggap psikologi sebagai bagian dari ilmu kealaman
yang bersifat eksperimental dan objektif. Oleh karena itu psikologi harus
menggunakan metode empiris, seperti : observation,
conditioning, testing, dan verbal reports.
Menurut
teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi
antara stimulus dan respon (Slavin, 2000).
Konsep stimulus dan respon inilah yang menjadi teori utama dari J.B
Watson. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini, yang terpenting dalam belajar adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah
segala sesuatu objek yang berasal dari lingkungan. Sedangkan respon adalah
segala aktivitas sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat
sederhana hingga tingkat tinggi.
Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidaklah penting untuk diperhatikan
karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah
stimulus dan respon. Oleh karena itu apa yang diberikan (stimulus) dan apa yang
diterima (respon) harus dapat diamati dan diukur, sebab pengukuran merupakan
suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.
J.B
Watson tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku
manusia. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat
penting. Pemikiran J.B Watson inilah yang menjadi dasar bagi para penganut
behaviorisme berikutnya.
Macam – macam teori belajar menurut
aliran behavioristik
1. Teori
Koneksionisme oleh Edward Thorndike
Menurut
Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Dalam percobaannya
apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk
mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja
kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan
kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali,
dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan
sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dari eksperimen
kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya
tercapai hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan untuk
memilih respon yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan
(trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Dari eksperimennya,
Thorndike mengemukakan hukum-hukum belajar, diantaranya :
·
Law of Readiness (Hukum Kesiapan)
Semakin siap suatu
organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah
laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat.
·
Law of exercise (Hukum Latihan)
Semakin sering tingkah
laku diulang, dilatih atau digunakan, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
·
Law of Effect (Hukum Akibat)
Hubungan stimulus
cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan.
Teori koneksionisme menyebutkan pula
konsep transfer of training, yaitu
kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan
masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan
kucingdengan problem puzzle box-nya.
2. Teori
Classic Conditioning oleh Ivan Pavlov
Classic
conditioning (pengkondisian atau persyaratan kalasi) adalah proses yang
ditemukan Pavlov melalui percobaanya terhadap anjing, dimana perangsang asli
dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi
leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar.
Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing
tersebut. Kini
sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah
terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula.
Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu
ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air
liurpun akan keluar pula.
Dengan
menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara
mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan
pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia
dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
3. Teori
Operant Conditioning oleh B.F Skinner
B.F
Skinner sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung,
meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Operant
conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau
negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau
menghulang sesuai dengan keinginan. Dalam
laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang
disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu
tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang
dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialir
listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan.
Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box,
tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan
makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus,
proses ini disebut shapping.
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung
merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah
penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus
respon akan semakin kuat bila diberi penguatan.
Artinya
seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement
yang bijaksana dalam lingkunyan relatif besar.
Aplikasi
Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Ciri kuat yang mendasari teori
behavioristik yaitu :
·
Mementingkan pengaruh lingkungan.
·
Mementingkan bagian-bagian.
·
Mementingkan peranan reaksi.
·
Mengutamakan mekanisme terbentuknya
hasil belajar melalui prosedur stimulus respon.
·
Mementingkan peranan kemampuan yang
sudah terbentuk sebelumnya.
·
Mementingkan pembentukan kebiasaan
melalui latihan dan pengulangan.
·
Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya
perilaku yang diinginkan.
Para
guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran
dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai
siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Pembelajaran berorientasi pada hasil
yang dapat diukur dan diamati. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
behavioristik adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang
diinginkan mendapat penguatan pisitif dan yang tidak diinginkan mendapat
penguatan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari pada perilaku yang tampak.
Kritik
terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru,
bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan
diukur. Teori ini tidak dapat diterapkan pada setiap pelajaran, sehingga butuh
kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting
untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar